Dewasa ini sebuah perubahan besar memang telah terjadi, bukan hanya pada generasi muda, tetapi juga generasi-generasi yang telah terbiasa mengenyam asam dan garam kehidupan. Perubahan yang dimaksud tersebut telah melibatkan kemajuan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai macam teknologi informasi telah memicu terjadinya revolusi mental dan perilaku generasi masa kini.
Terutama dengan hadirnya MedSos atau media sosial yang menghubungkan pribadi-pribadi berbeda dari berbagai penjuru dunia dalam satu tempat yang sama. Mulai dari Facebook, Twitter, Snapchat, Instagram, Path dan masih banyak lagi sudah menjadi bagian hidup generasi masa kini yang seakan tidak dapat lagi dipisahkan dari aktivitas sehari-hari.
Namun, kehadiran media sosial nyatanya tidak sepenuhnya memberikan dampak yang positif seperti mempertemukan sekaligus mengenalkan orang-orang dari berbagai latar belakang maupun daerah hingga negara berbeda melalui media yang lebih mudah. Kehadiran media sosial juga memberikan dampak tersendiri bagi toleransi antar umat beragama. Khususnya sesama masyarakat Indonesia. Apakah dampak media sosial terhadap toleransi antar umat beragama tergolong positif atau justru sebaliknya?
Melalui Media Sosial, Pesan Moral Lebih Mudah Disampaikan
Bagi komunitas keagamaan tertentu misalnya, dengan kehadiran media sosial semakin memberikan kemudahan bagi mereka untuk menyebarkan hal-hal yang positif terkait keyakinan yang dianutnya dengan tetap menghormati umat beragama lainnya. Dari hal semacam ini contoh kecilnya adalah dengan membagikan konten yang mengandung pesan-pesan moral yang bermanfaat bagi kehidupan melalui media sosial. Selain itu, memberikan ucapan saat perayaan hari-hari besar setiap agama juga menjadi pesan positif lain yang dapat dilakukan melalui media sosial. Dimana tindakan ini sangatlah bermanfaat untuk mempererat toleransi antar agama.
Para ulama misalnya, saat memanfaatkan media sosial umumnya mereka biasa membagikan pesan-pesan yang bermanfaat untuk mengingatkan umat muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang lebih baik. Demikian halnya dengan pemuka agama dari berbagai keyakinan lain di Indonesia, umumnya mereka juga melakukan hal yang sama. Baik dengan cara membentuk sebuah forum atau fanspage khusus yang menampung pemeluk agama terkait maupun langsung membagikannya ke publik. Sayangnya, tidak semua akun yang mengatasnamakan diri sebagai pemuka agama tersebut adalah akun real dan benar-benar digunakan oleh yang bersangkutan.
Agama Terkadang Menjadi Kambing Hitam Media Sosial Demi Sebuah Keuntungan Materi
Saling mengadu antara agama satu dengan lainnya
Hal yang sangat memalukan tidak jarang terlihat dengan begitu mudah di berbagai media sosial. Saat ini jangankan menjaga toleransi antar umat beragama. Pihak-pihak tertentu justru memanfaatkan adanya media sosial untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan dengan cara menjadikan nilai-nilai atau nama agama tertentu sebagai kambing hitam.
Di Facebook contohnya, tidak jarang terlihat adanya konten yang mengumbar berita hoax atau palsu mengenai pertikaian antar agama. Umumnya akun-akun tersebut membuat sebuah headline seperti pembakaran sebuah gereja oleh umat muslim yang ada di wilayah A Indonesia, umat agama Katolik membakar kitab suci milik umat Islam dan lain sebagainya. Dimana dengan konten semacam itu antar umat beragama justru menjadi panas dan berseteru dalam laman komentar konten media sosial yang bersangkutan. Padahal semua berita tersebut sama sekali tidak ada sumber nyatanya alias hanya sebatas hoax. Semakin banyak orang yang melakukan klik pada konten yang disebarkan tersebut, semakin banyak Rupiah atau Dollar yang masuk ke rekening sang penyebar hoax. Miris!! Akan tetapi, masih terus menerus terjadi khususnya dari pengguna media sosial yang ada di Tanah Air sendiri.
Contoh kecil lain berhubungan dengan pencalonan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Djahya Purnama (Ahok), dimana beberapa waktu ramai beredar di berbagai media sosial mengenai postingan foto yang menyatakan bahwa sebagai umat Islam tidak akan memilih pemimpin penganut agama lain seperti beliau. Bukankah hal-hal yang semacam itu justru memicu perselisihan antar umat beragama? Sementara dalam Pancasila telah disebutkan dengan jelas bahwa Indonesia mengakui 5 agama yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha. Bahkan dengan adanya pengakuan tersebut diharapkan antar umat beragama di Indonesia dapat saling memperkuat rasa toleransi antara satu agama dengan agama lainnya.
Melecehkan satu agama tertentu demi mendapat perhatian pengguna media sosial
Tindakan yang tidak kalah memalukan lainnya adalah merendahkan agama tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan popularitas. “Ilmu latah”, demikian rasanya ungkapan yang tepat untuk dapat menggambarkan kondisi semacam ini. Satu pengguna media sosial membuat status Facebook, Tweet atau yang semacamnya dengan menjelekkan suatu agama, seperti yang sering beredar baru-baru ini menghina Nabi. Kemudian pengguna akun media sosial dari agama bersangkutan mengetahui status atau Tweet yang telah dibuat lantas memberikan berbagai komentar pada akun bersangkutan. Satu pengguna mengetahui, akan semakin banyak menarik akun-akun lainnya untuk singgah ke akun tersebut dan memberikan komentar. Semakin banyak yang mengetahui, akan semakin terkenal akun pembuat status yang bersangkutan.
Sementara para pengguna lainnya sibuk menyebar screenshot status atau Tweet dari akun pemburu popularitas, muncul pihak lain lagi yang melakukan tindakan serupa. Kemudian semua kejadian di atas kembali terulang begitu terus hingga entah berapa banyak akun yang jika diketik namanya dalam laman pencarian Google lebih populer daripada pembuat platform media sosial itu sendiri.
Konten SARA Pemicu Reaksi Pengguna Media Sosial Adalah Ladang Uang
Di Facebook umumnya, tidak sedikit konten berbau SARA tiba-tiba muncul di timeline ketika akun media sosial kita baru saja dibuka. Lucunya, dari berbagai bentuk konten SARA tersebut justru akan sangat sering muncul akun yang mengunggah, misalnya foto penduduk di Israel, Pakistan, Suriah dan masih banyak lagi dalam kondisi tersiksa atau tertekan dan meminta pengguna media sosial tersebut menuliskan “Amin” atau memberikan “Like” pada foto tersebut.
Memberikan doa kepada sesama manusia, khususnya pemeluk keyakinan yang sama merupakan suatu keutamaan yang sangat dibenarkan. Namun, tindakan mana yang harus didahulukan? Apakah menuliskan Amin di setiap akun yang mengunggah foto umat tertentu tertindas atau berdoa serta memberikan bantuan semampu kita jika berita tersebut memang benar adanya?
Adakah sebelum menuliskan “Amin” dalam unggahan konten SARA tersebut kita pernah berpikir dan melakukan penelusuran terkait kebenaran konten tersebut? Terkadang semata-mata tanpa peduli apakah berita tersebut nyata atau hoax, “Amin” tertulis berjuta kali sambil menghakimi tindakan dari oknum yang menurut berita tersebut melakukan kekerasan. Tanpa pernah mengetahui benar atau salahnya.
Jadi jika sudah semacam ini, bagaimana baiknya kehadiran media sosial terhadap kelangsungan nilai-nilai toleransi antar umat beragama?
Sebagai masyarakat yang beradab dan bebas diskriminasi dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila bukankah semestinya ada atau tidaknya media sosial, toleransi antar umat beragama kian terjaga? Jika memungkinkan malah semakin erat karena media sosial pada dasarnya dibuat untuk digunakan “bersama”, bukan untuk umat agama tertentu.
Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa.
0 Response to "Media Sosial Milik “Bersama”, Mestinya Toleransi Semakin Kuat Terjaga"
Posting Komentar